Penjara Bukan Solusi: Menggugat Efektivitas Pidana bagi Residivis.

 


Tangsel - (Jurnal) Kerap kali kita terjebak dalam euforia penangkapan pelaku kejahatan tanpa menyadari sebuah kenyataan pahit: jeruji besi seringkali hanya menjadi "sekolah tinggi" bagi para kriminal, bukan tempat pertobatan. Fenomena recidive atau pengulangan tindak pidana menjadi tamparan keras bagi sistem hukum kita. Ia menjadi bukti autentik bahwa vonis hakim dan dinginnya lantai sel belum sepenuhnya mampu memutus rantai perilaku menyimpang.

Secara yuridis, KUHP kita telah mencoba membedah persoalan ini melalui dikotomi recidive umum dan khusus. Ini adalah langkah maju menuju keadilan proporsional; sebuah pengakuan bahwa tidak semua pengulangan kejahatan memiliki derajat moral yang sama. Namun, di balik kerangka hukum yang terlihat rapi tersebut, tersimpan sebuah ironi besar. Apakah pemberatan hukuman—yang secara normatif dianggap sebagai obat mujarab—benar-benar menyentuh akar persoalan?

Kasus residivis narkotika berinisial HM menjadi potret buram kegagalan sistemik ini. Ketika seseorang kembali terjerumus ke lubang yang sama setelah menjalani masa hukuman, maka yang gagal bukan sekadar si pelaku, melainkan sistem pembinaan kita. Narkotika adalah musuh yang kompleks; ia bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan patologi sosial dan psikologis. Menghukum seorang pecandu dengan penjara tanpa rehabilitasi komprehensif ibarat mengobati luka kanker dengan plester luka biasa—tampak tertutup, namun membusuk di dalam.

Sejatinya, recidive adalah alarm yang menandakan bahwa sistem pemidanaan kita terlalu berfokus pada aspek retributif (pembalasan) dan abai pada aspek restoratif serta rehabilitatif. Kita terjebak dalam pola pikir bahwa semakin berat hukuman, semakin aman masyarakat. Padahal, tanpa adanya jembatan pasca-penjara—seperti dukungan ekonomi, penerimaan sosial, dan pengawasan terintegrasi—seorang mantan narapidana akan kembali ke titik nol: lingkungan yang membesarkan watak kriminalnya.

Solusi Strategis: Menuju Paradigma Baru

Guna memutus siklus residivisme yang menjemukan ini, diperlukan pergeseran paradigma yang radikal:

  • Rehabilitasi Berbasis Kontinuitas: Khusus untuk kasus narkotika, rehabilitasi tidak boleh berhenti saat pintu penjara terbuka. Harus ada sistem post-release monitoring yang memastikan pelaku mendapatkan akses pekerjaan dan pendampingan mental.
  • Depolitisasi Kebijakan Pidana: Pemberatan hukuman bagi residivis memang perlu demi keamanan publik, namun ia harus dibarengi dengan program pembinaan yang spesifik berdasarkan profil psikologis pelaku (individualisasi pidana).
  • Sinergi Sosial: Masyarakat harus berhenti memberikan "hukuman mati perdata" berupa stigma. Penolakan sosial hanya akan mendorong residivis kembali ke pelukan komunitas kriminal yang lebih menerima mereka.

Pada akhirnya, keberhasilan hukum tidak diukur dari seberapa penuh sel penjara, melainkan dari seberapa sedikit orang yang kembali ke sana. Demokrasi hukum yang sehat adalah yang mampu memberikan keadilan, tanpa kehilangan sisi kemanusiaannya. (AM2GA)

Sumber:

  • tidak jera, Residivis asal kajang kembali diciduk perkara sabu
  • Pemerintah Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Jakarta: Kementerian Hukum dan HAM.

 

 

 


Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال