Tangsel – (Jurnal ) Dalam
hiruk-pikuk penguatan fondasi kenegaraan, urgensi pendidikan politik sering
kali terjebak pada formalitas prosedural. Padahal, jantung demokrasi yang sehat
terletak pada kerangka etik Hak Asasi Manusia (HAM). Tanpa integrasi HAM,
pendidikan politik hanya akan menjadi mesin pencetak partisipasi yang hampa
nurani. Sejatinya, HAM adalah prasyarat mutlak agar demokrasi tidak hanya kokoh
di atas kertas, tetapi juga adil secara substantif—menjadi kompas bagi
pembentukan karakter bangsa yang beradab.
Secara filosofis,
kekuasaan negara, dalam bentuk yang paling terlegitimasi sekalipun, wajib
bertekuk lutut pada martabat individu. Pandangan ini selaras dengan kredo hukum
dari Moeljatno (2008) bahwa penegakan hukum harus bekerja secara proporsional
dan manusiawi. Jika hukum pidana dilarang bekerja secara robotik tanpa ruang
moral, maka kebijakan politik pun tidak boleh menjelma menjadi alat penindasan
yang abai terhadap hak esensial warga. Pendidikan politik berbasis HAM
memastikan warga negara memahami batas kekuasaan dan cara kerja checks and
balances.
Di era digital yang
rentan akan hoaks dan polarisasi SARA, pendidikan politik yang kritis adalah
tameng utama. Ia mendidik publik untuk tidak sekadar menuntut hak, tetapi juga
menghormati hak orang lain. Mengadopsi prinsip Muladi dan Arief (2010),
kebijakan publik harus berorientasi pada kebutuhan masyarakat luas dan
perlindungan hak-hak dasar. Inilah wahana yang akan menghasilkan warga negara
sadar hukum, bukan sekadar pemilih emosional yang mudah terpecah oleh konflik
horizontal.
Sumber:
- Moeljatno. (2008). Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka
Cipta.
- Muladi, & Arief, B. N. (2010). Teori-Teori
Pemidanaan. Alumni (dalam judul Pendidikan Politik Berbasis HAM: Pilar
Fundamental Demokrasi dan Karakter Bangsa).
Perdebatan publik
tentang penegakan hukum di Indonesia sering kali menghakimi alasan penghapusan
pidana sebagai "jalan tol" bagi pelaku untuk meloloskan diri. Namun,
stigma ini adalah kekeliruan logika hukum. Moeljatno (2008) menegaskan bahwa
instrumen ini justru penjaga marwah hukum agar tetap adil dan manusiawi. Tanpa
alasan penghapusan, hukum hanya akan menjadi alat penghukuman otomatis yang
buta terhadap pertimbangan moral dan konteks kemanusiaan.
Ambil contoh pembelaan
terpaksa. Menghukum seseorang yang mencederai lawan demi menyelamatkan nyawa
sendiri adalah tindakan yang menutup mata terhadap realitas. Prinsip geen
straf zonder schuld—tiada pidana tanpa kesalahan—menjadi garis pembatas
yang jelas: hukum harus melihat manusia sebagai subjek bernyawa, bukan sekadar
angka dalam statistik kriminalitas. Begitu pula dengan amnesti atau daluwarsa;
Muladi dan Arief (2010) memandangnya sebagai pilihan kebijakan kriminal yang
mempertimbangkan efisiensi sistem dan kemaslahatan masyarakat yang lebih luas.
Fleksibilitas hukum
dalam membaca konteks situasional inilah yang sebenarnya membangun kepercayaan
publik. Masyarakat cenderung lebih menerima putusan yang memahami
"nyawa" di balik peristiwa ketimbang putusan yang kaku pada teks
formal. Meski begitu, transparansi tetap menjadi harga mati. Di masa kini,
sistem ini harus diimprovisasi agar tidak disalahgunakan sebagai tameng oknum
untuk bersikap sewenang-wenang. Penghapusan pidana bukanlah celah manipulatif,
melainkan manifestasi keadilan substantif yang memanusiakan manusia.
Untuk menjembatani
pro-kontra dalam isu ini, berikut adalah solusi yang dapat ditawarkan:
- Digitalisasi Akuntabilitas Hukum:
Mengembangkan platform transparansi di mana setiap keputusan penghentian
penuntutan atau pemberian amnesti dapat diakses publik disertai alasan
logis dan landasan hukum yang kuat, guna menghindari kesan "main
mata" politik.
- Reformasi Kurikulum Politik:
Mengintegrasikan studi kasus HAM nyata ke dalam pendidikan politik formal,
sehingga masyarakat tidak hanya memahami hak secara teoritis, tetapi juga
mampu mendeteksi pelanggaran hak dalam kebijakan publik secara dini.
- Audit Psikologi dan Motif:
Dalam penerapan penghapusan pidana, sistem peradilan harus melibatkan tim
ahli (psikolog dan sosiolog) untuk memastikan bahwa "tiadanya
kesalahan" atau "pembelaan terpaksa" didasarkan pada fakta
objektif, bukan rekayasa hukum.
- Modernisasi Regulasi:
Memperbarui parameter daluwarsa dan motif kejahatan dengan
mempertimbangkan kemajuan teknologi (seperti cyber crime), sehingga
hukum tetap relevan tanpa kehilangan sisi kemanusiaannya. (AM2GA)
Sumber :
1. Moeljatno. (2008). Asas-Asas Hukum Pidana.
Rineka Cipta.
2. Muladi, & Arief, B. N. (2010).
Teori-Teori Pemidanaan. Alumni.

