Predikat Kota Layak Anak Tangsel Dipertanyakan: Di Balik Penghargaan, Krisis Kekerasan Anak Merajalela

 


Tangsel - Di tengah sorotan nasional atas komitmen pemerintah daerah terhadap perlindungan anak, Pemerintah Kota Tangerang Selatan (Tangsel) kembali meraih predikat Kota Layak Anak (KLA) kategori Utama pada 8 Agustus 2025.

Penghargaan ini, yang diterima Wakil Wali Kota Tangsel Pilar Saga Ichsan di Jakarta dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), menandai peningkatan dari kategori Nindya sebelumnya. Namun, di balik gemerlap penghargaan tersebut, tersembunyi kenyataan pahit yang membuat masyarakat bertanya-tanya: apakah predikat ini benar-benar mencerminkan kondisi lapangan?

Data dari UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Tangsel mengungkap skandal yang mengguncang: sebanyak 347 laporan kekerasan tercatat sepanjang Januari hingga Oktober 2025. Dari angka tersebut, 226 kasus menimpa anak-anak, dengan satu insiden tragis berujung pada kematian akibat perundungan yang brutal. Angka ini bukan sekadar statistik dingin; ia mewakili krisis mendalam yang terus membara di masyarakat, di mana anak-anak seharusnya dilindungi, bukan menjadi korban dari lingkungan yang seharusnya aman.

Kepala UPTD PPA Tangsel, Tri Purwanto, dalam wawancara eksklusif pada Senin (17/11/2025), mengakui bahwa kekerasan terhadap anak masih banyak yang tersembunyi di balik tirai kegelapan. "Bukan hanya bullying yang terlihat di permukaan. Banyak korban yang enggan melapor karena takut stigma atau kurangnya kepercayaan pada sistem. Itu yang membuat kami terus mendorong edukasi masif, agar setiap anak berani bersuara dan mendapatkan keadilan," ujarnya dengan nada prihatin, menekankan urgensi pencegahan yang lebih agresif.

Mari kita bedah rincian kekerasan anak di Tangsel hingga Oktober 2025, yang menunjukkan pola mengkhawatirkan:

Anak Laki-Laki (80 Kasus): Dominasi kekerasan fisik dan psikis, dengan 24 kasus masing-masing, serta 5 kasus bullying yang sering kali berujung pada trauma jangka panjang.

Anak Perempuan (146 Kasus): Lebih banyak terpengaruh oleh kekerasan fisik (19 kasus) dan psikis (12 kasus), dengan 1 kasus bullying yang menambah daftar panjang penderitaan.

Tri menjelaskan bahwa perundungan paling sering meletus di lingkungan sekolah, tempat di mana anak-anak seharusnya belajar dan berkembang. Sementara itu, kekerasan fisik dan psikis juga merayap ke rumah tangga dan komunitas sekitar, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus. "Ini bukan masalah kecil; ini adalah panggilan bangun bagi kita semua untuk bertindak lebih cepat," tambahnya, menggarisbawahi perlunya intervensi komprehensif.

Peneliti dari Rights (Research Public Policy & Human Rights), Anita Melodina, tidak ragu menuding kegagalan implementasi kebijakan sebagai akar masalah. Ia mengkritik keras ketidakefektifan penerapan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP). "Pemkot Tangsel telah gagal total. Aturan sudah jelas, mekanisme pencegahan sudah diatur rinci, tapi eksekusi konsisten? Nol besar. Ini bukan sekadar kelalaian; ini pengabaian terhadap hak anak yang fundamental," tegas Anita dalam analisisnya yang tajam.

Menurutnya, predikat Kota Layak Anak seharusnya bukan sekadar trofi seremonial yang berkilau di rak, melainkan cerminan nyata dari ekosistem yang aman dan mendukung. "Jika Tangsel benar-benar layak anak, angka kekerasan tidak boleh melonjak setinggi ini. Apalagi dengan korban jiwa—itu adalah kegagalan sistemik. Standar perlindungan anak belum terpenuhi, dan ini harus menjadi alarm merah bagi semua pihak," ujarnya, sambil menekankan bahwa setiap kasus perundungan memerlukan penanganan holistik: pemulihan bagi korban, pembinaan bagi pelaku yang masih di bawah umur, tanpa mengabaikan hak-hak mereka.

Anita juga mendesak Pemkot Tangsel untuk memperkuat sinergi lintas sektoral—dengan sekolah, kepolisian, tenaga psikolog, dan UPTD PPA—sebagai langkah preventif yang kuat. "Kita perlu lebih dari kata-kata; butuh aksi nyata untuk mencegah tragedi berulang. Kekerasan anak bukanlah takdir, melainkan hasil dari sistem yang lemah," pungkasnya, mengajak masyarakat untuk bersama-sama menuntut transparansi dan akuntabilitas.

Dalam era di mana anak-anak adalah masa depan bangsa, predikat KLA Tangsel seharusnya menjadi inspirasi, bukan ilusi. Dengan angka kekerasan yang terus meningkat, saatnya bagi pemerintah daerah untuk membuktikan bahwa penghargaan ini bukan hanya simbol, melainkan komitmen nyata dalam melindungi generasi muda dari ancaman yang mengintai di balik pintu rumah dan gerbang sekolah. (AM2GA)

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال