Tangsel - Di tengah hiruk-pikuk perkembangan kota Tangerang Selatan (Tangsel), sebuah krisis ekonomi sedang melanda pedagang kaki lima (PKL) di Pasar Serpong. Mereka mengadu ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tangsel, mengeluhkan omzet yang anjlok drastis setelah relokasi pasar yang seharusnya membawa kemajuan.
Komisi II DPRD Tangsel, yang bertanggung jawab atas pembangunan dan ekonomi, telah berjanji untuk mencari solusi cepat guna mencegah kerugian lebih lanjut bagi para pedagang kecil ini.
Sebelum relokasi Pasar Serpong, kita bisa melihat pola serupa di Pasar Ciputat. Setelah dipindahkan ke lokasi baru, pasar tersebut mengalami sepi pembeli yang mencolok, seolah-olah kehidupan pasar yang dulu ramai telah lenyap begitu saja.
Apakah ini sekadar kebetulan, atau memang sudah menjadi kebiasaan warga Tangsel yang lebih memilih berbelanja di pinggir jalan daripada masuk ke dalam kompleks pasar modern? Dari pengamatan mendalam, ada beberapa alasan kuat di balik fenomena ini.
Pertama, biaya parkir yang harus dikeluarkan menjadi penghalang utama. Warga Tangsel, yang sebagian besar adalah pekerja harian atau keluarga dengan anggaran terbatas, sering kali menghindari pasar yang membebankan biaya tambahan ini. Kedua, relokasi pasar biasanya membuat jarak lebih jauh dari lokasi awal, sehingga mengurangi kenyamanan dan aksesibilitas.
Pedagang yang dulu mudah dijangkau kini harus bersaing dengan pedagang liar di pinggir jalan, yang menawarkan harga lebih murah tanpa biaya parkir.
Contoh nyata terlihat di Pasar Kita Pamulang dan Pasar Jengkol, yang dirancang sebagai pasar modern namun berakhir bangkrut.
Gedung-gedung megah itu kini sepi di pagi hari, hanya ramai saat malam tiba—sebuah ironi yang menunjukkan kegagalan adaptasi terhadap kebutuhan lokal.
Sementara itu, Pasar Kita BSD justru berkembang pesat, karena lokasinya strategis dan lebih sesuai dengan pola hidup warga yang sibuk. Di sini, kita tidak bisa menyalahkan siapa pun secara langsung; masalahnya terletak pada kurangnya kesadaran warga Tangsel sendiri, yang masih terbiasa dengan cara belanja tradisional di pinggir jalan.
Dari hasil pantauan tim kami di lapangan, warga Tangsel sering kali mengabaikan fasilitas pasar modern karena alasan praktis: lebih cepat, lebih murah, dan tanpa ribet parkir. Ini bukan hanya soal kebiasaan, tetapi juga tantangan bagi pemerintah daerah untuk merancang relokasi yang lebih manusiawi.
DPRD Tangsel, melalui Komisi II, kini tengah mengkaji opsi seperti subsidi parkir atau kampanye edukasi untuk mengubah perilaku warga. Jika tidak segera diatasi, krisis ini bisa meluas, mengancam mata pencaharian ribuan PKL dan stabilitas ekonomi lokal.
Para pedagang berharap relokasi selanjutnya lebih bijak, dengan mempertimbangkan suara mereka agar tidak terulang lagi nasib bangkrut seperti pasar-pasar sebelumnya.
Mari kita dukung upaya DPRD untuk menciptakan pasar yang benar-benar hidup, bukan sekadar bangunan mati yang ditinggalkan warga. Dengan kolaborasi antara pemerintah, pedagang, dan masyarakat, Tangsel bisa bangkit dari krisis ini dan membangun ekonomi yang lebih inklusif. (AM2GA)
