Tangsel - Isu sampah, sekali lagi, menjadi cermin buram tata kelola lingkungan di Tangerang Selatan (Tangsel). Kunjungan silaturahmi LBH Jingga (Tangsel) ke masyarakat di lingkungan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipeucang mengungkap akar masalah yang jauh lebih dalam dari sekadar tumpukan limbah fisik: krisis komunikasi dan pengabaian hak dasar warga.
Miskomunikasi dan Air Lindi yang Meluap
Permasalahan utama yang memicu kemarahan warga adalah bukan penolakan terhadap TPA, melainkan dampak langsung operasional TPA. Warga hanya meminta kepada Pemerintah Daerah (Pemda) dan dinas terkait untuk segera mengatasi luapan air lindi (air sampah) yang secara periodik merendam rumah mereka, menimbulkan bau menyengat, dan mengancam kesehatan.
Dari kacamata hukum lingkungan, fenomena luapan air lindi yang mencemari lingkungan pemukiman ini jelas melanggar hak warga atas lingkungan hidup yang sehat, sebagaimana dijamin oleh Pasal 99 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), terutama dalam konteks pencemaran.
Kompensasi yang Salah Nama dan Tidak Tepat Waktu
LBH Jingga juga menyoroti masalah kompensasi yang diberikan daerah. Warga menerima nominal Rp200 ribu per bulan (yang faktanya tidak cair setiap bulan). Yang krusial, warga menyebut dana tersebut sebagai "uang sampah", bukan "uang kompensasi".
Secara hukum, kompensasi dalam konteks lingkungan hidup (seperti yang diatur dalam PPLH dan turunannya) harus diberikan sebagai ganti kerugian atas dampak negatif yang nyata. Jika dana tersebut dianggap sebagai "uang sampah" (seolah-olah untuk membayar warga agar menerima sampah), hal ini menunjukkan misinterpretasi serius terhadap konsep kompensasi dan melukai rasa keadilan.
Keterlambatan pencairan juga merusak fungsi kompensasi sebagai penyeimbang beban lingkungan yang ditanggung warga.
Mandeknya Inovasi: Kisah Mesin Pengelolaan yang Terbengkalai
Salah satu temuan paling disayangkan adalah masalah pengelolaan sampah yang tidak berkelanjutan.
Pada era Walikota Tangsel sebelumnya, TPA Cipeucang telah memiliki mesin canggih yang dirancang untuk mengantisipasi dan mengolah sampah. Namun, mesin tersebut dilaporkan tidak dioperasikan secara optimal atau bahkan terbengkalai pada era pemerintahan Walikota saat ini.
Hal ini menunjukkan kegagalan Pemda untuk mematuhi prinsip pengelolaan sampah berbasis teknologi dan mengurangi volume TPA, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (Pasal 29). Pengelolaan sampah yang hanya bergantung pada sistem landfill terbuka (penimbunan) tanpa pengelolaan mesin yang memadai adalah langkah mundur dan merupakan bukti bahwa janji penyelesaian masalah sampah hanya berhenti di tingkat retorika.
Solusi: Transparansi dan Penegakan Hukum Lingkungan
Kejadian ini harus menjadi momentum bagi Pemkot Tangsel untuk melakukan evaluasi total terhadap tata kelola TPA Cipeucang.
Revitalisasi Regulasi (2020-2025): Pemda harus merujuk kembali pada Peraturan Daerah Tangsel tentang Pengelolaan Sampah yang relevan dalam rentang 2020-2025 dan memastikan implementasi yang ketat, termasuk penggunaan teknologi dan penanganan air lindi yang tuntas.
Transparansi Kompensasi: Mengubah terminologi dan memastikan skema kompensasi yang adil, tepat waktu, dan didasarkan pada penilaian dampak lingkungan yang akurat.
Aksi Hukum: Jika Pemda terus abai, warga didampingi LBH Jingga memiliki dasar hukum kuat untuk menuntut penegakan hukum lingkungan, baik melalui mekanisme gugatan perdata (ganti rugi) atau mekanisme tata usaha negara.
Permasalahan sampah bukanlah perkara sepele, melainkan isu Hak Asasi Manusia (HAM) dan penegakan hukum lingkungan. Semoga insiden ini mendorong Pemda Tangsel untuk beralih dari sekadar 'mengurus' sampah menjadi 'menyelesaikan' masalah sampah secara struktural dan bermartabat. (AM2GA)

