Air Mata di Ruang Gelap JAFF 2025: 'The Voice of Hind Rajab' Bukan Sekadar Film, Tetapi Dokumen Hidup Perlawanan atas Pembungkaman

 


Internasional – Gelombang emosi tak terbendung menyapu ruang pemutaran film di Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) 2025. Bukan karena fiksi yang memukau, melainkan karena kebenaran mentah yang disajikan dalam dokumenter drama berjudul "The Voice of Hind Rajab". Film berdurasi 90 menit ini, yang sebelumnya telah meraih sensasi dengan tepuk tangan selama 23 menit saat diluncurkan perdana di Venice Film Festival 2025, kembali mengulang momen katarsis di hadapan penonton Indonesia.

Isak tangis terdengar sejak awal pemutaran hingga tepuk tangan panjang pecah di akhir, menjadi penanda bahwa kisah tragis Hind Rajab, gadis cilik berusia enam tahun yang terbunuh di mobil bersama keluarganya, berhasil menembus batas-batas geografis dan ideologis.

Inti kekuatan film ini terletak pada penggunaan materi otentik yang tak terbantahkan. Alih-alih mengandalkan dialog rekaan, sutradara Kaouther Ben Hania menggunakan rekaman audio asli percakapan terakhir Hind dengan petugas Bulan Sabit Merah. Suara memilukan seorang anak yang terus-menerus memohon untuk dijemput, kini menjadi soundtrack kebangkitan nurani global.

Kengerian tragedi ini dieksplorasi lebih jauh melalui ucapan Wissam Hamada, ibu dari Hind, yang menjadi pembuka pintu emosi penonton :

"Berapa anak lagi yang harus terbunuh? Berapa ibu lagi yang harus menanggung penderitaan ini? Sampai saat ini, saya masih bisa mendengar suaranya dan berharap dia ada."

Momen-momen krusial, termasuk adegan Wissam menemukan Hind dan jasad anggota keluarga lainnya di mobil yang hancur, ditayangkan menggunakan rekaman video asli yang ada, menjadikannya dokumen forensik kemanusiaan yang tak bisa dibantah.

Bagi Ben Hania, respons emosional penonton yang meluas—dari Venesia hingga Yogyakarta—bukan sekadar prestasi sinematik, melainkan alat strategis. Dalam berbagai wawancara, ia menekankan bahwa tujuan film ini melampaui raihan penghargaan.

"Suara Palestina tidak banyak terdengar. Mereka sering dibungkam. Ini mulai berubah sedikit. Tapi masih sangat, sangat sulit. Film ini juga bukan hanya tentang tepuk tangan atau tentang momen katarsis saat penonton menangis lalu pulang," ujar Ben Hania.

Ia berharap apresiasi global ini dapat mendorong film menembus berbagai pasar sinema yang lebih luas, memastikan pesan dari Palestina tidak lagi menjadi footnote sejarah, melainkan headline kemanusiaan.

Model keberhasilan "The Voice of Hind Rajab" menawarkan solusi baru dalam jurnalisme konflik dan advokasi global, yang tidak sama dengan laporan berita online biasa:

Transformasi Bukti Digital Menjadi Narasi Abadi: Film ini mengubah rekaman suara dan video amatir menjadi monumen audio-visual yang memiliki daya tahan naratif lebih lama daripada trending topic berita. Ini adalah strategi untuk mengabadikan memori kolektif agar tidak mudah dilupakan oleh siklus berita 24 jam.

Aktivisme Melalui Empati Sinematik: Dokumenter ini menggunakan kekuatan sinema untuk memaksa audiens global menjadi saksi. Dengan memicu tangisan dan tepuk tangan massal, film ini secara efektif mengubah penonton yang pasif menjadi agen penyebar pesan yang memiliki beban emosional untuk menceritakan kisah Hind lebih lanjut.

Menggugat Kebisuan Pasar Global : Strategi Ben Hania untuk menargetkan festival film besar (Venesia) adalah upaya menghancurkan tembok sensor informal di pasar film Barat. Dengan mendapatkan standing ovation di panggung bergengsi, ia menciptakan validasi artistik yang sangat sulit ditolak oleh distributor film, memastikan pesan Palestina memiliki akses ke bioskop-bioskop utama dunia.

Film ini membuktikan bahwa di era disinformasi, seni yang jujur dan otentik dapat menjadi senjata paling ampuh untuk menuntut akuntabilitas dan membangkitkan kembali komitmen universal terhadap nilai-nilai kemanusiaan. (AM2GA)


Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال